Siapakah Muslim Moderat?

Siapakah muslim moderat itu? Penjelasan istilah ini penting karena terma “moderat” dan “muslim moderat” sering kali disalahpahami. “Muslim moderat” misalnya, dimaknai secara politis dan ideologis sebagai pro Barat, kaum sekuler, penganut Islam lunak, bahkan muslim oportunis.

Sementara sesungguhnya secara normatif, Islam menganjurkan untuk mengambil jalan moderasi di antara dua kutub yang ekstrim. Tulisan singkat ini ingin menjelaskan istilah “muslim moderat” dengan menggunakan beberapa perspektif, di antaranya Muqtedar Khan dan Khaled Abou El Fadl.

Muqtedar Khan adalah Guru Besar Bidang Ilmu Politik dan Relasi Internasional pada Universitas Delaware, Amerika Serikat. Sementara, Abou El Fadl adalah Guru Besar Hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat.

Muslim moderat mempunyai beberapa demarkasi dan karakteristik yang membedakannya dengan muslim puritan. Di antaranya adalah:

Pertama, posisi intelektual. Yang membedakan Muslim moderat dengan yang lain (muslim puritan) adalah paradigma dan orientasi metodologis mereka dalam menafsir dan memahami teks keagamaan. Muslim moderat berparadigma agama diturunkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan manusia (li tahqiq mashalih al-ibad), bukan kemaslahatan Tuhan. Tuhan adalah Maha Segalanya. Membela Tuhan adalah membela kemanusiaan.

Paradigma ini kemudian berkelindan dengan pilihan “ijtihad” sebagai solusi dalam menyelesaikan beragam persoalan sosial-politik dan budaya, bukan “jihad” sebagaimana pilihan kaum puritan. Dalam konteks ini, kaum moderat sangat mendorong kebebasan berpikir tanpa menafikan arti penting keberimanan.

Meminjam istilah Kuntowijoyo, kaum moderat cenderung untuk melakukan objektivikasi Islam, yakni bagaimana nilai-nilai Islam universal bisa diterjemahkan pada tataran kehidupan empirik.

Kedua, multiple critique. Kaum moderat cenderung melakukan apa yang disebut dengan multiple critique. Kritik internal terhadap dogmatisme dan literalisme keberagamaan yang dinilai menghambat kemajuan dan kritik terhadap arogansi modernitas Barat.

Muslim moderat kritis terhadap warisan tradisi dan apresiatif terhadap budaya lain. Sikap kritis dan terbuka ini sering diungkapkan sebagai al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid bi al-ashlah. Sikap-sikap apologetik (right or rong is my country) terhadap tradisi atau pun menerima tanpa reserve budaya Barat bukan bagian dari karakteristik muslim moderat.

Abou El Fadl misalnya, representasi muslim moderat, pernah menegaskan bahwa apa yang terjadi antara Islam dan Barat sesungguhnya bukan the clash of civilization, akan tetapi the clash of fundamentalism, yakni fundamentalisme Barat dan fundamentalisme Muslim. Tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban Islam dan Barat dinilai mempunyai banyak kelemahan.

Terlalu sederhana untuk menilai muslim moderat sebagai yang pro Barat. Muslim moderat adalah yang berpihak pada kemajuan peradaban bersama, perkembangan ilmu pengetahuan, dan penghargaan terhadap sisi-sisi kemanusiaan manusia.

Ketiga, integrasi Islam dan ilmu pengetahuan (science). Muslim moderat umumnya mengkombinasikan penguasaan terhadap sumber-sumber keislaman dan perangkat keilmuan kontemporer. Keilmuan yang terakhir dipakai sebagai sebuah pendekatan untuk lebih memahami Islam, utamanya yang berdimensi empirik.

Dalam konteks ini, Islam sebagai sebuah doktrin/keyakinan dibedakan dengan Islam yang sudah mengejawantah dalam budaya dan peradaban. Islam dalam makna yang terakhir meniscayakan pengembangan dan kontekstualisasi. Ini adalah implikasi logis dari klaim Islam shalih li kulli zaman wa makan.

Kontekstualisasi membutuhkan pendekatan posdisipliner (tidak semata monodisipliner), dalam bentuk multidisipliner, interdisipliner, bahkan transdisipliner dalam pengkajian Islam. Pendekatan posdisipliner bermakna keilmuan, budaya dan peradaban Islam membutuhkan sentuhan keilmuan umum untuk menunjukkan the body of knowledge keilmuan Islam.

Hakikat keilmuan Islam tidak mendikotomi Ilmu Islam dan ilmu umum. Tetapi pada kenyataannya telah terjadi diferensiasi (pembedaan) antara keduanya, antara Islam dan kehidupan. Maka, merujukkan kembali keduanya dalam bentuk integrasi adalah keniscayaan. Wallah A’lam

Sumber image: Pinterest