Membumikan Isra dan Mikraj dalam Konteks Pendidikan

 

Oleh: Abid Rohmanu*

Sabtu, 18 Februari 2023 bertepatan dengan 27 Rajab 1444 H. Umat Islam di Indonesia pada hari tersebut memperingati isra dan mikraj. Isra dan mikraj adalah peristiwa penting dalam sejarah kehidupan Nabi Saw.

Isra menunjuk pada perjalanan Nabi dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina yang jaraknya 1.500 KM. Sementara mikraj adalah perjalanan Nabi dari Masjid al-Aqsha ke lapisan langit tertinggi yang tak terjangkau oleh semua makhluk-Nya.

Isra dan mikraj yang diperingati setiap tahun ini diharapkan tidak sekedar menjadi rutinitas tahunan, tetapi momentum untuk menyegarkan dan memperdalam nilai-nilainya untuk dikontekstualisasikan dalam semua lini kehidupan, tak terkecuali lini pendidikan.

Membumikan Spirit Isra-Mikraj

Peristiwa Isra dan Mikraj adalah bagian dari mukzizat Nabi Saw. Peristiwa ini menguji keberimanan dan menorehkan hikmah dan pelajaran maha penting bagi yang mengimaninya. Jumhur ulama menyatakan bahwa peristiwa isra dan mikraj bukan saja bersifat ruhani, tetapi juga jasadi sekaligus.

Dalam konteks pendidikan Islam, isra dan mikraj mengajarkan bagaimana menanamkan pondasi keimanan yang kokoh bagi peserta didik. Keimanan adalah nilai kewajiban (obligatory value) yang tak perlu diperdebatkan.

Mengimani Nabi Saw. adalah mengimani pula semua pengalaman yang dilakukan. Keimanan bersifat context independent yang umumnya tak selalu bisa dinalar.

Penanaman aspek keimanan bisa dilakukan secara kognitif dalam bentuk transfer pengetahuan keagamaan ataupun psikomotorik terhadap peserta didik.

Peringatan Hari Besar Islam (HBI) adalah bentuk pembiasaan yang bisa menyentuh aspek psikomotorik ini. Sementara transfer pengetahuan tentang doktrin keimanan bisa dilakukan dalam banyak momentum, terutama di ruang-ruang kelas.

Internalisasi nilai isra dan mikraj selanjutnya adalah pendidikan ibadah, yakni shalat. Shalat adalah pesan fundamental isra dan mikraj. Shalat menjadi rukun/aspek tak terpisahkan dari Islam.

Pengetahuan dan praktik shalat bagi peserta didik tidak banyak menimbulkan persoalan. Aspek pembiasaan bagi peserta didik lebih penting untuk dilakukan. Shalat hendaknya menjadi inti kurikulum dalam pendidikan anak sebagaimana pernah disitir oleh al-Ghazali.

Pentingnya shalat sebagai inti kurikulum pararel dengan perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Shalat menghasilkan sikap dan perilaku yang baik, ia bisa mencegah perbuagan keji dan munkar. Dalam konteks ini pula kualitas shalat menjadi hal lain yang penting untk ditanamkan.

Hal di atas menunjuk pada pentingnya kurikulum yang memberikan tekanan, tidak saja pada aspek pengetahuan tetapi juga sikap, karakter dan perilaku. Ini semakna dengan definisi pendidikan sebagai tindakan yang terencana untuk mengubah sikap dan perilaku dalam upaya pendewasaan peserta didik.

Selain berdimensi keimanan dan ibadah, isra dan mikraj juga menunjuk pada pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan. Peristiwa isra dan mikraj sendiri adalah i’jaz yang sulit untuk diterima oleh nalar.

Tetapi justru karena demikian, umat Islam termotivasi untuk menjelaskan peristiwa isra dan mikraj dari berbagai perspektif: normatif, filosofis, science dan lainnya. Penjelasan ini bukan untuk meragukan, sebaliknya menguatkan aspek keimanan.

Last but not least, peringatan isra dan mikraj mengajarkan bagaimana tiada henti memperdalam nilai-nilai keimanan dan ibadah serta terus mengembangkan ilmu pengetahuan dalam konteks pendidikan. Dengan sinergi keimanan, ibadah, dan pengembangan pengetahuan diharapkan pendidikan Islam (madrasah) bisa mencapai mi’rajnya, amin! (*Penulis adalah Ketua YPP Al-Jawahiriyyah Campurejo Sambit Ponorogo).